Jakarta, 3 April 2018 – Masih dalam rangka memperingati Bulan Kesadaran Kanker Kolorektal yang jatuh pada Maret 2018 lalu, Merck sebagai perusahaan sains dan teknologi, bersama-sama dengan Yayasan Kanker Indonesia (YKI) menggelar sesi diskusi dengan tema “Kenali Kanker Kolorektal Lebih Dekat”. Kegiatan ini diadakan sebagai upaya dalam mengedukasi masyarakat tentang kanker kolorektal dan pentingnya deteksi dini untuk mendapatkan pengobatan yang tepat, serta memberikan dukungan kepada para penderita dan keluarga.

Kanker kolorektal adalah salah satu masalah kesehatan di Indonesia baik bagi pria maupun perempuan. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, kanker kolorektal merupakan penyebab kematian kedua terbesar untuk pria dan penyebab kematian ketiga terbesar untuk perempuan. Data GLOBOCAN 2012 menunjukkan, insiden kanker kolorektal di Indonesia adalah 12,8 per 100.000 penduduk usia dewasa, dengan tingkat kematian 9,5% dari seluruh kanker. Bahkan, secara keseluruhan risiko terkena kanker kolorektal adalah 1 dari 20 orang (5%).

Prof. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD- KHOM, FACP, FINASIM, Ketua Umum YKI menjelaskan, “Prevalensi kanker kolorektal di Indonesia yang meningkat tajam menjadi perhatian khusus bagi Yayasan Kanker Indonesia untuk mengajak masyarakat agar lebih waspada dan tidak mengabaikan tanda-tanda penyakit ini dengan melakukan deteksi dini –mengingat gejala kanker kolorektal tidak terlihat jelas. Untuk itu, kami mengapresiasi kerjasama dengan Merck dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kanker kolorektal.”

Sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa kanker kolorektal erat kaitannya dengan kanker keturunan atau kanker yang terjadi pada usia lanjut, padahal kanker yang tumbuh pada usus besar atau rektum ini juga sangat dipengaruhi oleh gaya hidup. Faktanya, 30% dari penderita kanker kolorektal adalah pasien di usia produktif, yaitu di usia 40 tahun atau bahkan lebih muda lagi. Kanker kolorektal yang ditemukan di Indonesia juga sebagian besar bersifat sporadis dan hanya sebagian kecil bersifat herediter.

Faktor lingkungan dan gaya hidup yang tidak sehat memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap kasus kanker ini di Indonesia, seperti penyakit radang usus besar yang tidak diobati, kebiasaan banyak makan daging merah, makanan berlemak dan alkohol, kurang konsumsi buah-buahan serta sayuran dan juga ikan, kurang beraktivitas fisik, berat badan yang berlebihan, serta kebiasaan merokok.

dr. Nadia Ayu Mulansari, SpPD-KHOM menjelaskan, “Sekitar 25% pasien kanker kolorektal terdiagnosa pada stadium lanjut, sehingga kanker telah menyebar ke organ lain. Pada kondisi ini, pengobatan menjadi lebih sulit, lebih mahal, dan tingkat keberhasilan juga menurun. Studi juga menunjukkan hanya 10-12% dari pasien ini hidup lebih dari 5 tahun. Maka dari itu, pemeriksaan dini atau skrining usus dan pentingnya menghindari faktor risiko dengan melakukan perilaku hidup sehat sangat disarankan untuk mencegah kemungkinan kanker sejak dini.  Sementara itu, saat ini pengobatan kanker kolorektal di Indonesia juga sangat berkembang, didukung oleh ahli, tekhnologi dan obat yang tersedia.” 

Yayasan Kanker Indonesia berharap angka kematian karena kanker kolorektal dapat terus berkurang sejalan dengan kemajuan penanganan kanker ini di Indonesia, khususnya dengan tersedianya terapi target dan pemeriksaan status penanda tumor RAS, yang akan membantu pasien kanker kolorektal mendapatkan obat yang tepat (personalized treatment).  Personalized treatment memungkinkan pemakaian obat yang tepat sehingga pasien akan terhindar dari efek samping dan biaya yang tidak perlu.

Namun demikian, pada kasus dimana sebagian pasien kanker kolorektal menjalani pembedahan di tubuhnya untuk membuat lubang yang dibuat melalui operasi pengangkatan laring, saluran cerna (usus besar), atau saluran kemih, mereka atau disebut ostomate, membutuhkan pemasangan kantong stoma sebagai fasilitas sederhana agar dapat menjalani hidup normal.

Keberadaan ostomate membutuhkan pendampingan perawat yang mempunyai keahlian untuk merawat luka, stoma dan inkontinensia (WOCM - Wound, Ostomate and Continence Nurses). YKI mendukung para perawat WOCN dalam hal pelatihan dan membantu mereka hingga akhirnya dapat mendirikan sekolah WOCN di Indonesia. 

Dr. Aditya G. Parengkuan, M.Biomed, Koordinator Indonesian Ostomy Association YKI, mengatakan, “Salah satu kegiatan Indonesian Ostomate Association (InOA) YKI adalah mendistribusikan bantuan kantong-kantong stoma kepada para ostomate yang membutuhkan, mengingat kantong stoma tidak murah sementara merupakan kebutuhan vital. Namun demikian, InOA YKI masih mengalami kesulitan memasukkan sumbangan kantong stoma yang masih dianggap sebagai barang mewah dengan biaya pajak yang tinggi, yang membuat harga kantong stoma menjadi mahal.”

Dengan kondisi penanganan pasien kanker kolorektal, hingga sebagian menjadi ostomate, maka dukungan keluarga dan orang terdekat sangatlah penting untuk menumbuhkan rasa percaya diri saat pra dan pasca operasi.

Ditemui pada kesempatan yang sama, Medical Director PT Merck Tbk, dr. Risa Anwar, menambahkan, “Sebagai perusahaan yang bergerak dalam sektor kesehatan, Merck memiliki komitmen untuk ikut serta meningkatkan pelayanan kesehatan di Indonesia dengan melakukan edukasi pada pekerja kesehatan dan masyarakat.  Untuk itu kami meluncurkan inisiatif terbaru kami, yaitu “Gut Strength” yang ingin mengajak masyarakat agar lebih terbuka dan memberikan dukungannnya kepada para penderita kanker, khususnya kanker kolorektal. Gerakan ini berfokus pada tiga elemen yaitu kebersamaan (together), kekuatan (strength), dan dukungan (support).“

“Merck mengajak masyarakat untuk tidak tinggal diam terhadap penyakit ini dan mengambil upaya pencegahan serta memberikan dukungannya kepada para penderita untuk menghadapi penyakit ini. Untuk kemudian juga menginspirasi yang lainnya dalam membagikan informasi edukasi penting seputar kanker kolorektal sembari saling belajar dan memberikan dukungan satu sama lain,”  tutup dr. Risa.