Rasa sayang seorang ibu kepada anaknya jauh lebih besar dari rasa sayangnya ke diri sendiri. Hal itulah yang tersimpul dalam benak saya kala mewawancarai survivor kanker ini.

Lita Perdita merupakan seorang wanita karir dan juga orangtua tunggal bagi ketiga anaknya saat ia didiagnosa kanker. Wanita kelahiran Jakarta, Desember 1957 ini memang tak pernah merasakan gejala atau tanda-tanda apapun yang membuatnya curiga akan adanya kanker di tubuhnya, kecuali bahwa ia memiliki siklus menstruasi yang mulai tidak teratur.

Awalnya, Lita menganggap kondisi menstruasinya yang tidak teratur tersebut sebagai tanda-tanda  menopause. Hingga pada suatu hari di bulan puasa tahun 2005, ia mengalami pendarahan hebat tanpa sakit perut atau gejala menstruasi apapun. Dokter yang dirujuk Lita akhirnya mendiagnosa bahwa Lita menderita kanker serviks atau kanker leher rahim stadium 1B.

Lita yang kala itu berusia 48 tahun sangat mengkhawatirkan kondisi ketiga anak-anaknya jika ia menjalani operasi, terlebih saat itu anak-anaknya masih berusia belia. “Saya kasihan jika anak-anak saya harus berbuka puasa di rumah sakit dan melihat saya terbaring sakit,” jelasnya. Rasa takut meninggalkan anak-anak itulah yang membuat Lita memutuskan untuk menunda operasi. Ia meminta agar dokter mengizinkan pengangkatan kanker sepanjang dua cm di leher rahimnya ditunda hingga bulan puasa usai. Meski sempat tidak disetujui karena khawatir sel kanker akan menyebar dengan cepat, Lita akhirnya baru melakukan operasi beberapa minggu setelah diagnosanya.

Pengalamannya melawan kanker di usia produktif tersebut membuat Lita semakin sadar akan mahalnya kesehatan. Ia mengingatkan bahwa kanker serviks tidak hanya dapat menyerang di usia menopause seperti yang ia alami 13 tahun silam. Kanker serviks juga dapat menyerang di usia muda, sehingga penting bagi setiap perempuan untuk lebih aware dan melakukan pemeriksaan rutin dalam mencegah munculnya kanker. Selain itu, ia juga berpesan agar para penderita kanker sebaiknya hanya ditangani dengan prosedur medis sepeti operasi dan kemoterapi bukannya pengobatan alternatif. “Pengobatan jalur alternative tidak bisa menyembuhkan kanker. Percayalah pada dokter dan penanganan medis yang semakin canggih,” ucapnya mengakhiri percakapan kami siang itu.