Jakarta, 14 Mei 2019 – Indonesia tengah diserbu fenomena baru hadirnya rokok elektronik atau yang secara umum saat ini dikenal dengan vape. Ribuan toko vape tiba-tiba menjamur dan pengguna vape menjadi sangat umum. Produk baru ini disebut-sebut aman dibanding rokok konvensional dan bahkan bisa menjadi solusi berhenti merokok. Untuk meluruskan pemahaman ini, hari ini organisasi profesi kesehatan mengemukakan perspektifnya agar masyarakat mendapat informasi yang benar tentang rokok elektronik.

WHO menyebutkan, peredaran rokok elektronik secara global saat ini tengah melambung. Peredarannya tersebar luas terutama di negara-negara berkembang, terutama di kalangan anak-anak dan remaja.

Di Indonesia, ditemukan kasus anak-anak sekolah dasar mengonsumsi vape di sekolah. Peminat rokok elektronik secara dahsyat meningkat tajam yang diindikasikan dengan menjamurnya para penjual vape, baik di gerai-gerai maupun di toko online (BPOM, 2018). Mendapatnya sangat mudah dan tidak ada regulasi apapun yang mengaturnya kecuali pengenaan cukai 57% yang justru melegalisasi produk yang belum jelas keamanannya ini.

Dalam berbagai kesempatan, para penjual dan produsen vape berkampanye menyebutkan produk ini lebih aman karena tidak mengeluarkan asap dan tidak beracun, serta sangat menganjurkan para perokok konvensional untuk pindah ke rokok elektronik untuk membantu berhenti merokok. Sayangnya, masyarakat tidak mendapat referensi untuk mengetahui fakta-fakta di balik informasi- informasi tersebut. Pemerintah juga belum membuat pernyataan yang tegas mengenai produk ini sebagai panduan kepada masyarakat dalam pemakaiannya.

Dalam konferensi pers yang melibatkan tiga belas organisasi profesi kesehatan dan lembaga masyarakat diungkapkan bahwa rokok elektronik sama sekali bukan tidak berbahaya dan tetap mengandung bahan-bahan kimia yang memiliki dampak kesehatan.

Seperti yang disampaikan Ketua Pokja Masalah Rokok PDPI dr Feni Fitriani Sp.P(K) dalam pengantar, “Rokok elektronik mengandung nikotin, bahan karsinogen/menyebabkan kanker (seperti propylene glycol, gliserol, formaldehid, nitrosamin dll) dan bahan toksik lain (seperti logam/heavy metals, silikat, nanopartikel dan particulate matter) yang merangsang iritasi dan peradangan serta menimbulkan kerusakan sel. Oleh karena itu, rokok elektronik berpotensi menimbulkan adiksi, meningkatkan risiko kanker, dan risiko kesehatan lainnya pada manusia.”

Pernyataan tersebut disepakati oleh ahli kesehatan lainnya yang hadir dalam konferensi pers di Kantor PB Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta, ini. Seperti yang disebutkan Ketua Umum PB Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Dr Sally Aman Nasution, SpPD-KKV, “Rokok elektronik memiliki substansi yang bersifat karsinogenesis sehingga memiliki risiko perubahan sel dan mencetuskan timbulnya beberapa kanker tertentu, seperti: kanker paru, mulut dan tenggorokan, dan juga gangguan di bidang pencernaan, sistem imun, dan timbulnya trombosis.”

Senada dengan pendapat di atas, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Dr. DR. Agus Dwi Susanto Sp.P(K), FAPSR, FISR, mengungkapkan, “Berbagai penelitian menunjukkan dampak rokok elektrik pada sistem paru dan pernapasan, seperti peningkatan peradangan/inflamasi, kerusakan epitel, kerusakan sel, menurunkan sistem imunitas lokal paru dan saluran napas, peningkatan hipersensitif saluran napas, risiko asma dan emfisema dan risiko kanker paru. Beberapa penelitian di populasi juga menunjukkan bahwa rokok elektrik menyebabkan iritasi saluran napas, meningkatkan gejala pernapasan, risiko bronkitis, asma serta risiko penyakit bronkiolitis obliterans dan infeksi paru.”

Dr. dr. Erlina Burhan, MSc, SpP(K) dan Dr. dr. Anna Rozaliyani, MBiomed, SpP dari Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) menambahkan, “Terdapat 7x1011 zat radikal per-hirup rokok elektronik yang akan meningkatkan stres oksidatif dan memiliki efek pengubah status imun yang mirip dengan rokok reguler. Kandungan zat berbahaya dalam rokok elektronik, antara lain nikotin, dapat mengubah ekspresi beberapa gen, salah satunya ICAM-4 yang dapat meningkatkan penempelan bakteri TB. Kondisi tersebut membuat perokok berisiko 2x lipat untuk terinfeksi dan mati karena TB dibandingkan bukan perokok!”

Mengenai anggapan bahwa rokok elektronik dapat menjadi alat bantu berhenti merokok, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menolaknya. Disebutkan bahwa alih-alih berhenti merokok, berbagai penelitian di beberapa negara menunjukkan DUAL users rokok elektronik dan rokok konvensional. Sebagai contoh, Polandia, dari 30% remaja 15-19 th yang mengonsumsi rokok elektronik tahun 2013-2014, 72,4%nya adalah dual users. Studi UHAMKA pada remaja SMA di Jakrata tahun 2018 menemukan dari 11,8% perokok elektronik dimana 51%nya DUAL users. Ketua Umum PDPI, dr. Agus kembali menambahkan bahwa WHO dalam konferensi WHO Framework Convention On Tobacco Control tahun 2014 juga menyimpulkan bahwa tidak ada cukup bukti yang menyatakan rokok elektronik dapat membantu seseorang untuk berhenti merokok.

Sementara itu, beredarnya penelitian tentang keamanan rokok elektronik terhadap kesehatan mulut dan gigi juga harus dipertanyakan. Sebab menurut Dr. drg. Didi Nugroho Santosa, MSc, Komisi Obat, Material, dan Alat Kedokteran Gigi Persatuan Dokter Gigi Indonesia, “Berdasarkan beberapa penelitian, rokok elektronik ternyata tetap berpengaruh negatif pada sel mukosa mulut dan tidak terbukti bahwa rokok elektronik merupakan cara yg tepat untuk menghentikan kebiasaan merokok konvensional.”

Dalam konferensi pers hari ini, IAKMI juga mengingatkan untuk berhati-hati pada kampanye penggunaan rokok elektronik karena industri rokok konvensional justru berada di baliknya. British American Tobacco mengintegrasikan rokok elektronik ke dalam bisnis rokok konvensionalnya dengan menginvestasikan USD 1 Miliar dollar untuk pengembangan, mematok target pemasukan > 1 juta Pound (USD 1,79M) tahun 2018 dan > 5 juta Pound tahun 2022. Philip Morris (PMI) mendanai Foundation for Smoke Free World (FSFW) dengan tujuan menghentikan orang merokok dan memberikan dana penelitian untuk menambah bukti ilmiah. Bersamaan dengan pemasaran rokok konvensional, PMI juga memasarkan produk tembakau yang dipanaskan bernama IQOS.

“Indonesia perlu mengambil sikap kehati-hatian. Dengan belum cukupnya bukti ilmiah tentang safety dan efficacy sebagai alat berhenti merokok karena waktu yang masih terlalu pendek, indonesia perlu mewaspadai klaim kesehatan yang menjebak,” jelas dr. Widyastuti Soerojo, IAKMI.

Dr. Wahyuni Indawati, Sp.A(K) dari Ikatan Dokter Anak Indonesia mengungkapkan bahwa saat ini anak-anak adalah target utama produk ini. “Anak-anak selalu menjadi korban dan saatnya kita harus melindungi mereka dengan membuat aturan yang ketat mengenai promosi dan penjualannya. Mereka dibuat terlena oleh berbagai wangi buah dan permen, sehingga mereka tidak sadar dibuat sakit karena bahan-bakan kimia dan dibuat kecanduan oleh nikotin di dalamnya.”

dr. Adhi Wibowo Nurhidayat, SpKJ(K), MPH dari Institute of Mental Health, Addiction, and Neuroscience (IMAN) mengingatkan bahwa rokok elektronik membuat penggunanya adiksi terhadap nikotin cair yang ada di dalamnya. Rokok elektronik juga menjadi cara masuk baru beragam jenis narkoba. Penelitian yang dilakukan oleh Blundell dkk (QJM, 2018) menunjukkan dari 861 responden yang diteliti, 39,5 persen menggunakan rokok elektronik untuk menghisap narkoba, baik narkoba tradisional (ganja, kokain, heroin) maupun narkoba jenis baru (ganja sintetis, katinona sintetis).

Karena itu, dalam kesempatan ini, para dokter dari ahli kesehatan dan lembaga masyarakat juga memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk melarang peredaran rokok elektronik sampai kepastian keamanannya. “Melihat berbagai kerugian yang ditimbulkan oleh pemakaian rokok elektronik, kami menghimbau masyarakat Indonesia untuk tidak menggunakan rokok elektronik dan mengharapkan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, mengambil keputusan yang tegas demi melindungi rakyat Indonesia dan mencegah terulang kembali eksploitasi industri rokok dalam produk yang berbeda dengan isi yang sama, yaitu zat adiktif nikotin,” tegas Dr. Daeng M Faqih, SH MH Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, seraya menutup acara.