JAKARTA, 10 Oktober 2018 – Yayasan Kanker Indonesia  (YKI) pada hari Selasa, 9 Oktober 2018 menggelar diskusi ilmiah bertajuk “Pentingnya Peningkatan Kualitas Hidup” dan “Perlunya penangangan yang tepat dengan berbagai modalitas Terapi Kanker Tiroid” berlangsung di Sasana Marsudi Husada, YKI Lebak Bulus.

Diskusi ilmiah bertema Kanker Tiroid menghadirkan Ketua Umum YKI Prof. DR. dr. Aru Wisaksono Sudoyo, SpPD, KHOM, FACP yang membawakan makalah mengenai “Terapi Sistemik pada Pasien Kanker Tiroid”; Dr. Hapsari Indrawati, SpKN dengan topik “Ablasi pada Pasien Kanker Tiroid dan Bagaimana mengatasi gejala Hipotiroid” dan DR. dr. Sonar S. Panigoro dengan topik “Peran Pembedahan pada Kanker Tiroid”, dengan lebih dari 100 penyintas kanker tiroid sebagai peserta.

Ketua Umum YKI Prof. DR. dr. Aru Wisaksono Sudoyo, SpPD, KHOM, FACP menyampaikan, “Gaya hidup sehat merupakan kunci terhadap pencegahan terkena kanker tiroid yang lebih banyak menyerang gender wanita, mereka yang terkena pajanan terhadap radiasi berkekuatan tinggi, dan sindrom genetika yang diturunkan. Jika kanker tiroid ditemukan, pengobatan yang tersedia meliputi pembedahan, yodium radioaktif, hormon tiroid, radioterapi luar, kemoterapi atau dengan terapi target atau sasaran khusus.”

Saat seseorang terkena kanker tiroid, maka akan mengganggu hormon tiroid dan menyebabkan gangguan metabolisme tubuh. Hipertiroidisme adalah kondisi ketika kadar hormon tiroksin di dalam tubuh sangat tinggi.  Hal ini menyebabkan hiperaktifitas atau hiperiritasi, penderita menjadi tidak tahan udara panas, jantung berdetak cepat, lekas lelah dan lemah, turunnya berat badan meski nafsu makan naik, diare, poliuria atau meningkatnya buang air kecil secara berlebih, menstruasi tidak teratur, dan hilangnya libido.

Sementara itu, hipotiroidisme adalah kondisi dimana kelenjar tiroid tidak membuat hormon tiroid dengan cukup. Tanda-tandanya tubuh lekas lelah dan lemah, kulit kering, merasa kedinginan terus, rambut rontok, sulit konsentrasi dan daya ingat berkurang, konstipasi, berat badan bertambah meski nafsu makan berkurang, suara serak, menstruasi tidak teratur, sensasi abnormal berupa kesemutan, tertusuk, atau terbakar pada kulit, gangguan pendengaran, muka sembab, turunnya refleks urat, jari tangan mengalami sensasi kesemutan, mati rasa, atau nyeri, denyut jantung dibawah 60 per menit, dan efusi pleura -penumpukan cairan diantara dua lapisan pleura yang membungkus paru-paru. 

Lebih lanjut Prof. Aru menerangkan tentang sejumlah faktor makanan yang memicu dan dapat meningkatkan risiko kanker seperti alkohol yang dapat mempengaruhi kesehatan mulut, tekak, pangkal tenggorokan saluran kerongkongan, hati, payudara, usus besar dan dubur; sementara garam yang berlebih berpengaruh terhadap kesehatan lambung; gula yang berlebih terhadap usus besar dan dubur; daging yang dipanggang dengan arang berkemungkinan berpengaruh terhadap usus besar dan dubur; lemak total dan lemak jenuh berpengaruh terhadap kesehatan paru-paru, usus besar, dubur, payudara dan prostat.

Adapun faktor makanan yang berhubungan dengan pengurangan risiko kanker meliputi makanan berserat yang bermanfaat bagi kesehatan kolorektal, pankreas dan payudara; asam folik untuk kesehatan serviks dan kolorektal; Vitamin D dan kalsium untuk kolorektal dan payudara; antioksidan baik yang bersifat nutrisi dan non-nutrisi dari makanan baik untuk kesehatan kolorektal, paru-paru, payudara, serviks, prostat, kerongkongan dan lambung; vitamin C yang bersumber dari makanan untuk kesehatan mulut, kerongkongan, paru-paru, lambung, pankreas dan serviks; the (flavonoids) baik untuk kesehatan paru-paru dan kolorektal; dan zat Alpha-tocopherol baik untuk paru-paru; serta isoflavon kedelai untuk kesehatan payudara. Sedangkan penyebab kanker lainnya termasuk rokok (160.000 dari 514.000 kematian karena kanker disebabkan oleh rokok); kurang berolah raga; dan obesitas.

Sementara itu DR. dr. Sonar S. Panigoro yang membawakan topik “Peran Pembedahan pada Kanker Tiroid” mengatakan, “Penanganan tumor padat diawali dari penemuan klinis, biopsi dan imajing untuk diagnosis kanker, dilanjutkan dengan penentuan stadium, penentuan jenis pengobatan apakah dilanjutkan dengan bedah, radiasi, atau hormonal kemoterapi.  Namun berdasarkan pengalaman, sebagian besar benjolan tiroid bersifat jinak, dan hanya 10%-15% yang ganas sehingga perlu tindakan pembedahan.”

DR. Sonar menjelaskan bahwa benjolan tiroid yang tidak ditangani pada pasien dengan riwayat radiasi leher dengan usia muda atau lanjut, benjolan dapat bertambah besar, terjadi pembesaran kelenjar getah bening leher, suara serak, dan mengalami kesulitan makan dan minum.

Dalam pemaparan bertajuk “Ablasi pada Pasien Kanker Tiroid dan bagaimana mengatasi gejala Hipotiroid”, Dr. Hapsari Indrawati, SpKN menjelaskan bahwa menurut data American Cancer Society 2007, terdapat 33,550 kasus baru dalam kanker tiroid yang menyebabkan 1,530 kematian. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penderita kanker tiroid terus meningkat, meski jumlah kematian akibat kanker tiroid relatif stabil.”

Dr. Hapsari berfokus pada penjelasan mengenai terapi Radioiodine (I-131) yang sudah umum digunakan untuk menghancurkan sisa jaringan tiroid di lapang operasi pasca pembedahan tiroid total atau near-total, dimana tujuannya adalah untuk menurunkan kemungkinan kekambuhan lokal dan memperbaiki kondisi pasien dengan metastasis (penyebaran).

Dr. Hapsari menekankan pentingnya untuk terus mengkonsumsi hormon tiroid sepanjang hidup pasien agar tidak terkena gejala hipotiroid yang dapat menyebabkan pasien lemah, bertambah berat badan, produktifitas kerja berkurang, kenaikan tingkat TSH (Thyroid Stimulating Hormone).